The Sweet Love Story - Special 3
Saat ini, waktu menunjukkan pukul 1 dini hari, Zhao Fanzhou bertengger di ruang tamu, menatap pintu, kedua matanya menyala. Bagus, wanita ini semakin menggila, ditelepon tidak diangkat, sudah bersenang-senang sampai gila ya?
Waktu diputar kembali ke kemarin malam.
Bayi sehat Zhou Xiao kelihatannya sedang flu, ingus mengalir dari hidungnya tanpa henti. Zhao Fanzhou ingin membawanya ke dokter, tapi dia menolak untuk pergi. Akhirnya, Zhao Fanzhou hanya bisa membiarkannya minum obat flu dan kembali tidur. Sekitar jam 11 malam, ponsel Zhou Xiao terus berbunyi, Zhao Fanzhou membantunya menjawab telepon itu. Orang di telepon mengatakan besok malam akan diadakan reuni kelas mereka. Zhao Fanzhou melihat Zhou Xiao yang tertidur pulas, mengatakan pada orang di telepon kalau dia akan menyampaikannya.
Pagi-pagi sekali, dia memiliki sebuah rapat yang sangat penting, tidak sempat bertemu muka dengan Zhou Xiao, jadi dia pun lupa akan hal ini. Setelah selesai rapat, Zhao Fanzhou menelepon istrinya untuk menanyakan keadaan penyakitnya. Zhou Xiao bertanya tentang hal ini. Zhao Fanzhou yang mendengar suara bindengnya, memintanya untuk tidak pergi. Zhou Xiao tidak senang, merasa kalau selama ini kalau Zhao Fanzhou pergi juga tidak pernah laporan kepadanya. Jadi, dia tidak pulang kerja, langsung pergi ke acara reuni, membuat orang yang datang menjemputnya pulang dengan tangan hampa.
Baiklah, Zhao Fanzhou menekan emosinya dan meneleponnya. Zhou Xiao sempat mengangkat dua teleponnya, yang pertama dia mengatakan ‘aku tidak makan di rumah, urus makan malammu sendiri’; yang satu lagi dia berkata ‘hari ini aku pulang malam, tidurlah duluan’. Suara latar dari kedua panggilan telepon itu suara orang tertawa, membuat Zhao Fanzhou marah sampai giginya diasah sampai hampir rata.
Pada pukul 02.13, terdengar suara kunci pintu diputar, Zhou Xiao berjalan masuk dengan terendap-endap.
Di depan pintu, Zhou Xiao sudah melakukan persiapan batin, tapi begitu masuk dia masih terkejut dengan benda beraura jahat di atas sofa. Dia tertawa dengan tidak percaya diri, “Kenapa belum tidur?”
“Kamu masih berani pulang?” suaranya terdengar dingin, “Kenapa tidak menjawab telepon?”
“Suara musik di KTV terlalu keras, tidak terdengar.” jawabnya dengan rasa bersalah.
“Benarkah?” gumamnya, Zhou Xiao mencium aroma akan segera terjadi hujan dan angin topan. Dia sibuk mengetuk kepalanya sendiri dan berteriak keras, “Musik KTV sangat keras, membuat telingaku sakit sampai sekarang, kepalaku sangat sakit.”
Zhao Fanzhou meliriknya, “Sini, aku lihat.”
“Lihat apanya?” Zhou Xiao berjalan ke sampingnya.
Zhao Fanzhou mendekat, mengendus tubuhnya beberapa kali, alisnya berkerut, “Sedang flu, malah minum alkohol?”
“Aku cuma minum satu gelas.” katanya dengan suara rendah, kenapa hidungnya begitu sensitif, memangnya dia anjing pelacak!
“Pergi mandi.” katanya dengan galak, “Naikkan sedikit suhu airnya.”
“Oh.” Ternyata dia masih mendapatkan amnesti.
Dari selesai mandi sampai dia berbaring di tempat tidur, Zhao Fanzhou tidak mengatakan sepatah kata pun padanya. Selain itu, ketika Zhao Fanzhou melihatnya berbaring, Zhao Fanzhou langsung membalikkan badan dan membelakanginya. Zhou Xiao tahu kali ini dia sudah keterlaluan, secara spontan dia mendekat dan memeluk pinggang suaminya, menguburkan kepalanya di punggung Zhao Fanzhou dan berkata, “Maafkan aku.”
Zhao Fanzhou melepaskan tangan yang pinggangnya, tidak menjawab.
Zhou Xiao tidak berani bergerak lagi, berbaring dengan patuh, tapi dia tidak bisa tidur. Hidung tersumbat membuatnya tidak nyaman. Dia berbalik ke kiri, hidung kirinya terasa sakit. Dia berbalik ke kanan, hidung kanannya tersumbat. Akhirnya dia berguling ke kanan dan ke kiri… terus berulang-ulang semalaman.
Zhao Fanzhou tiba-tiba terduduk, menyalakan lampu. Cahaya yang tiba-tiba mengenai mata kedua orang itu membuat mata mereka menyipit sebentar.
Zhao Fanzhou membuka selimut dan beranjak pergi dari tempat tidur. Zhou Xiao terduduk dan melihat punggung suaminya yang meninggalkan pintu kamar, perasaan bersalah memenuhi perutnya. Sudah sakit, ditambah minum alkohol, kelenjar air matanya mulai terbuka dan dia pun meneteskan air mata tanpa henti.
Zhao Fanzhou yang datang dengan air dan obat-obatan, dia melihat Zhou Xiao yang menangis begitu keras, terkejut. Dia bergegas meletakkan air di nakas dan memeluknya, “Kenapa menangis? Mana yang terasa tidak nyaman?”
Zhou Xiao terisak, berkata dengan terputus-putus, “Hidungku tersumbat, sangat tidak nyaman. Tidak bisa tidur, bukan sengaja ingin mengganggumu.”
“Aku tahu, aku tahu, jangan menangis lagi.” Zhao Fanzhou menepuk punggungnya.
“Kamu tidak mempedulikanku.” tuduhnya.
“Iya, aku yang tidak baik. Kamu jangan menangis lagi.” Zhao Fanzhou menyeka air matanya, membujuknya dengan hati-hati, “ini semua salahku, jangan menangis.”
Zhou Xiao terisak sebentar dan akhirnya kembali tenang. Kali ini dia baru sadar, membuat adegan mengerikan dengan tagisan ternyata sebuah trik yang berguna. Tidak heran seluruh wanita di dunia ini selalu dianggap sebagai pendekar terhebat.
Zhao Fanzhou menepuk punggungnya dengan lembut dan meraih air dan obat-obatan di nakas. Membantu Zhou Xiao dan menyuruhnya minum obat.
Zhou Xiao minum seteguk demi seteguk air dari tangan Zhao Fanzhou, dalam pikirannya mulai berpikir cara untuk membuatnya meraih kemenangan yang lebih. Setelah Zhao Fanzhou membantunya minum setengah gelas air, dia berhenti, meletakkan kembali gelas itu di nakas.
“Ke depannya kamu tidak boleh mengabaikanku.” kata Zhou Xiao.
“Iya.” Zhao Fanzhou menyetujuinya. Setelah dipikir-pikir, rasanya tidak benar, “Lalu kalau kamu membuatku marah bagaimana?”
“Kalau begitu, kamu marah saja.”
“Kalau sedang marah, aku kan tidak suka mempedulikan orang.”
“Kamu tidak boleh tidak mempedulikanku.”
“Kamu manusia atau bukan?” Zhao Fanzhou meliriknya dengan kesal.
“Kamu masih memarahiku…” Zhou Xiao mengerutkan bibirnya dan bersiap untuk kembali menangis.
“Sudahlah, tidak usah akting lagi. Kalau berakting lagi sudah tidak mirip.” Zhao Fanzhou membaringkannya di tempat tidur, mematikan lampu dan ikut berbaring.
“Aku sudah membuat keputusan. Kedepannya, kalau kamu mengabaikanku, aku pasti akan menangis.” Zhou Xiao telah membuat sebuah keputusan besar dalam hidupnya.
“Kamu benar-benar orang yang ambisius,” Zhao Fanzhou berkata sambil menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua.
“Kalau begitu, kamu coba saja.” Zhou Xiao sangat puas, akhirnya dia berhasil menemukan kelemahan suaminya.
“Bodoh.” Zhao Fanzhou menariknya ke dalam pelukannya, “Coba saja kalau kamu berani menangis.”
“Aku sekarang juga bisa menangis.” Zhou Xiao seakan sedang mengumumkan suatu hal yang hebat.
“Sudahlah, anggap saat saja aku takut padamu.” Zhao Fanzhou berkompromi, dalam hatinya sedang memarahi dirinya tidak berguna, jelas-jelas tahu wanita ini cuma pura-pura tapi dia malah tidak tega.
“Sulit bagiku untuk menang kali ini.” Zhou Xiao merasa puas, “Ternyata menang itu memang rasanya menyenangkan.”
“Hmph.” Zhao Fanzhou menjawabnya dengan dengusan.
Di tengah malam yang tersisa, Zhou Xiao yang sedang sakit flu dan habis menangis terus-menerus mengeluarkan suara-suara dari hidungnya. Zhao Fanzhou yang menyedihkan, hanya bisa tetap terjaga sampai fajar menyongsong.