Thousand Miles of Bright Moonlight - Chapter 73
Malam pun datang, bersamaan dengan salju yang beterbangan.
Dengan suara sedikit ramai, pasar ditutup. Yuanjue mengawal Yaoying turun dan menaiki sebuah kereta felt yang tak mencolok.
Satu demi satu para pedagang berjalan keluar dari alun-alun, suasananya riuh.
Setelah kereta bergerak menelusuri jalan, Xie Chong berbisik, “Putri, ada orang yang mengikuti kita.”
Kain felt pada kereta membuka sedikit, dan suara Yaoying melayang keluar: “Berkelilinglah beberapa kali dan kemudian kembali, kirim orang untuk mengikuti kita supaya bisa melihat siapa yang mengikuti kita.”
Xie Chong mengiyakan lirih, lalu menunjuk pada dua orang pengiring karavan. Mereka berhubungan dengan para pedagang Hu setiap hari dan sudah familier dengan rute di Ibu Kota.
Orang itu pun menundukkan kepalanya dan memasang tudungnya, segera dia membaur ke dalam keramaian.
Dengan sengaja kusir berputar memasuki gang kecil, berputar beberapa li, lalu berbalik beberapa kali.
Kelima indera Yuanjue sangat tajam, dan dia memerhatikan pergerakan di sekeliling mereka. Dia mengedarkan pandangan, lalu berkata dengan suara lirih, “Semua orang lainnya sudah tidak ada, tapi ada seorang Han dari Dataran Tengah yang mengikuti kita.”
Sebuah kumala ramping dengan Xianyan Kodan menyatukan kain feltnya. Yaoying tampaknya amat tertarik pada orang Han dari Dataran Tengah yang mengikuti mereka. Dia melongok keluar, matanya berbinar, lalu bertanya, “Apa kau bisa melihat siapa orang itu?”
Mulut Yuanjue membuka beberapa kali, lalu tiba-tiba dia tergagap.
Hari ini Yaoying telah menerima beberapa kelompok orang.
Yuanjue tak memahami Bahasa Mandarin dan tak tahu apa yang tengah mereka katakan. Orang-orang Han yang sebelumnya memasuki rumah itu tampak bengong selama beberapa saat, lalu mereka semua menampakkan kesukacitaan dan antusiasme, bahkan ada yang sampai menangis.
Yaoying memperlakukan mereka dengan sangat sopan. Dirinya tampak begitu santun, anggun, dan bermartabat. Semua orang yang ada di rumah itu duduk, menangis dan tertawa, bicara dan memaki, lalu akhirnya Yaoying mengucapkan beberapa patah kata, dan semua orang langsung bangkit dan saling bertatapan. Membungkuk ke arah timur, ekspresi mereka tampak takzim dan serius.
Yaoying harus berdandan kembali setiap kali sekelompok orang sudah dikirim pergi. Barulah setelah kelompok orang yang terakhir pergi, tokonya ditutup. Sebelum Yaoying membasuh bersih riasannya, dia hanya melepaskan tusuk rambut dan mengguncangkan kepalanya asal-asalan. Zhu Cui membantu melepaskan gaun kasa yang berharga lalu memasangkan gaun panjang berlengan sempit dengan leher bulat berpola magpie yang ringan dan hangat. Riasan tebal masih terpasang di wajahnya.
Ketika hari masih siang, Yuanjue sudah merasa kalau wajah Yaoying tampak cerah dan dia tak berani menatapnya secara langsung. Kini ketika wajah berias itu berada begitu dekat padanya, dengan seulas senyum indah, cemerlang dan memikat, detak jantungnya pun meningkat pesat. Dia pun bergegas menundukkan kepala lalu membaca paritta di dalam hatinya.
Pada saat ini, Yuanjue benar-benar merasa kagum pada sang Putra Buddha. Dihadapkan pada godaan semacam itu, sang Putra Buddha bisa tetap duduk dengan tenang. Sungguh patut menjadi raja mereka!
Yaoying mengira Yuanjue tak mendengar kata-katanya dengan jelas, jadi dia pun bertanya kembali: “Apa kau bisa melihat siapa orang itu?”
Yaoying sudah mengucapkan apa yang harus dia katakan dalam seharian ini, dan sesekali dia harus membuat tenggorokannya menghasilkan suara tegas dan serius untuk menggentarkan orang-orang kaya. Sekarang suaranya jadi terdengar lirih dan parau, tidak selembut biasanya.
Wajah Yuanjue terasa panas, dan dengan kepala ditundukkan dalam-dalam, dia menyambar kantong kulit lalu menjulurkannya ke dalam kereta, brkata, “Putri, minumlah sedikit susu kambing panas ini untuk membasahi tenggorokan Anda.”
Yaoying tersenyum, mengucap terima kasih, mengambil kantong air di tangan Yuanjue, lalu dengan ramah berkata bahwa setelah bicara sepanjang hari ini, suaranya memang jadi terdengar tidak nyaman.
Yuanjue terbatuk beberapa kali, menenangkan pikirannya, lalu berkata, “Orang Han yang mengikuti kita sangat tinggi. Putri sudah bertemu dengannya hari ini.”
Mata Yaoying berbinar dan dia pun bertanya lembut, “Apakah pemuda yang menyandang pedang di pinggangnya itu?”
Wajah Yuanjue mengilaskan kekagetan. “Bagaimana Putri tahu kalau orang itu adalah dia?”
Hari ini, sebagian besar orang kaya yang Yaoying temui adalah orang-orang tua, beberapa di antaranya bahkan sudah memiliki rambut kelabu. Melihat buku-buku serta benda-benda lain yang Yaoying bawa dari Dataran Tengah, tangis mereka pun meledak. Jelas-jelas mereka berasal dari Hexi yang dipaksa untuk pindah ke barat menuju Gaochang ketika mereka masih muda. Beberapa di antara mereka berusia paruh baya dan hanya sedikit yang masih muda, jadi Yuanjue mengingatnya dengan jelas. Pemuda yang membawa pedang itu adalah sosok yang paling mencolok, karena dirinya keras kepala dan tak mengikuti aturan. Orang itu tak mau melepaskan pedangnya ketika dia meneriakkan salam kepada orang-orang tua lainnya.
Dari sudut pandang Yuanjue, sikap si pemuda tampak memprovokasi. Kalau saja mata Yaoying tidak memberinya isyarat untuk tetap diam, dia pasti akan sudah mencabut pedangnya sejak awal.
Apa si pemuda akan berniat jahat hingga mengikuti mereka?
Tanpa sadar Yuanjue mengepalkan tangannya.
Yaoying meneguk susu kambingnya, terasa hangat seperti yang sudah diperkirakan, lalu berkata, “Aku tahu dia akan mengikuti kita. Tak usah cemas, dia bukan orang jahat.”
Firasat itu seharusnya membuatnya lebih tenang.
Yaoying menundukkan kepalanya dan berpikir.
Kereta melaju melewati jalan panjang, roda-rodanya bergulir melintasi salju tebal. Suara derit terus terdengar, kegelapan malam begitu pekat, dan jam malam hampir tiba.
Yaoying memperkirakan waktunya, meletakkan kantong airnya, lalu berbisik kepada Yuanjue: “Bawa pemuda itu ke dalam gang, aku ingin bicara beberapa hal padanya.”
Yuanjue pun membisikkan perintah kepada si kusir. Si kusir mengangkat cambuknya dan mengarahkan kereta menuju sebuah gang sempit yang berada di luar jalur utama. Si pemuda masih mengikuti mereka, tak sadar kalau ini adalah tipuan. Setelah dia mengikuti masuk ke dalam gang, Xie Chong meninggalkan kelompok dan dengan cepat melompat turun. Dari dinding berselimut salju, beberapa pengawal melompat di belakang si pemuda.
Kereta pun berhenti.
Si pemuda terperanjat, dan langsung berbalik untuk kabur.
Xie Chong melangkah keluar dari sudut jalan dengan membawa golok panjang, menghadang jalan keluar si pemuda.
Wajah si pemuda sedikit berubah.
Yaoying membuka tirai dan turun dari kereta.
Si pemuda balas menatap Yaoying, dagu terangkat tinggi, ekspresinya tampak arogan. Dengan jemari siap pada pedang di pinggangnya, dia berujar dingin: “Apa yang hendak Putri lakukan?”
Bahasa Mandarin khas Hexi.
Yaoying tertawa lantang.
Si pemuda melongo, ekspresinya kaku. Lama kemudian, ekspresi marah tampak di wajahnya, dan dia pun berseru, “Apa yang Putri tertawakan?”
Yaoying menghentikan tawanya, alis dan matanya masih penuh senyum. Dengan mata berbinar, dia menatap si pemuda seraya tersenyum.
Si pemuda memiliki alis tebal, mata besar, tungkai panjang-panjang, sangat tinggi, bahu bidang dan tubuh yang terlihat kuat. Tak tampak lemak di tubuhnya. Seperti layaknya anak-anak di Gaochang, rambut kepangnya menggelantung di punggung, namun dia tak mengenakan mahkota bunga emas di kepalanya. Alih-alih, dia mengenakan syal yang membelit rambutnya. Baju brokat, sabuk mewah, pedang panjang bertatahkan batu permata di pinggang, cahaya keemasan menyorot dari ujung kepala hingga kaki, berpakaian selayaknya seorang pahlawan kenamaan.
Yaoying terus menatap si pemuda, membuat wajah tampan pemuda itu perlahan merona merah, matanya was-was dan kesal: “Kenapa Anda memandangi saya?!”
Yaoying tersenyum, lalu membungkuk sopan pada si pemuda, lalu berkata serius: “Saya mengagumi Tuan Muda Yang Gaoyi.”
Marga si pemuda adalah Yang dan namanya Yang Qian. Mendengar kata-kata itu, matanya tampak kosong, lalu berkata keras kepala, “Saya tak mengerti apa yang sedang Tuan Putri bicarakan.”
Yaoying tersenyum.
****
Pada masa ini, Yang Qian hanya seorang pemuda yang tak dikenal, namun beberapa tahun kemudian, namanya akan menyebar ke seantero Dataran Tengah.
Negara telah kalah, dan Xi Yu terpencil. Pemuda ini terlahir di padang pasir nan luas. Sejak kecil dia telah menyaksikan penjajahan dan kesewenang-wenangan atas sukunya. Ketika dia tumbuh dewasa, dia bertekad memimpin sukunya merebut kembali gunung dan sungai serta kembali ke kampung halaman mereka, namun mereka terpisah sejauh ribuan li dari Chang’an. Betapa sulit ingin pulang ke rumah?
Semua orang membujuk Yang Qian agar segera menyingkirkan pemikiran ini. Namun dia tak berkecil hati. Sambil dengan tekun berlatih beladiri, dia juga mencari uang, diam-diam mengumpulkan pasukan, dan sekaligus terus-terusan membujuk keluarga-keluarga kaya di kota agar meyakinkan Yuchi Damo mencari bantuan dari Dataran Tengah.
Ketika dia berusia dua puluh tahun, Tumoroga mangkat. Orang-orang Rong Utara jadi tak terbendung dan mulai membantai suku-suku yang melawan. Kekacauan terjadi di mana-mana. Dia mengambil kesempatan ini unutk membawa pasukannya menerobos blokade Rong Utara dan menginjakkan kaki ke timur, mencari jalan meminta bantuan.
Ketika mereka pergi, orang-orang di kota membawa kaum tua dan dengan dibantu oleh para pemuda, mereka menarik-narik lengan baju Yang Qian, lalu menangis lantang, “Yang Lang, ketika kita tiba di Chang’an, tanyakanlah kepada Kaisar Chang’an beserta para menterinya, apakah mereka ingat pada kita, rakyat ini?”
Yang Qian yang berusia dua puluh tahun mencabut pedangnya dengan marah, memotong rambut panjangnya, lalu bersumpah: Jika tiba di Chang’an, jangan pernah melihat ke belakang!
Di perjalanan menuju ke timur ini, Yang Qian dan para pengawalnya melakukan perjalanan seumur hidup.
Dari Gaochang menuju Chang’an, orang harus melewati medan yang keras, padang pasir Gobi tak berujung dan tak berpenghuni, padang rumput yang liar, mendaki pegunungan salju yang menjulang megah, lalu melewati tak terhitung banyaknya titik-titik pemeriksaan serta beberapa kota penting di mana orang-orang Rong Utara ditempatkan.
Yang Qian dan rombongannya berangkat dari Gaochang dan selama sembilan tahun perjalanan, banyak yang mengalami kematian. Beberapa orang mati karena kehausan, beberapa mati kelaparan, beberapa mati kelelahan, beberapa mati karena penyakit, dan lebih banyak lagi yang mati tragis di bawah pedang pasukan berkuda Rong Utara.
Mereka tidak menengok ke belakang, dan terus berjalan menuju timur.
Pada akhirnya, kelompok penuh semangat yang pergi untuk mendapat bala bantuan dari Chang’an ini pun menghilang ditelan Gurun Gobi yang luas.
Bertahun-tahun kemudian, sebuah karavan dari Dataran Tengah yang melakukan perdagangan dengan orang-orang Rong Utara melintasi Shazhou dan menemukan tulang-belulang orang mati di antara pasir hisap. Si pedagang mendapat pemikiran murah hati dan ingin menguburkan tulang-belulang itu. Tanpa disengaja dia menemukan bungkusan yang masih utuh di samping tulang-belulang itu lalu membukanya. Maka di dalamnya terlihatlah sebuah buku yang terdiri dari sepuluh ribu kata yang tertulis di kain.
Isinya adalah seruan dan permohonan kepada Dataran Tengah dari rakyat yang telah kehilangan tanah mereka.
Tulang-belulang yang ditemukan di padang pasir itu adalah milik Yang Qian. Dia telah melalui segala macam kesukaran, namun tetap saja gagal mencapai Chang’an dengan selamat dan mati sendirian di gurun.
Sebelum dia mati, dia meninggalkan namanya dan pesan terakhir pada Buku Sepuluh Ribu Kata, lalu berdoa semoga orang yang melihat Buku Sepuluh Ribu Kata akan membantunya mengirimkan Buku Sepuluh Ribu Kata itu ke Chang’an.
Nyawa si pemuda sudah lama hilang, tulang-belulang kering masih mempertahankan postur merayap ke arah timur.
Tak pernah menengok ke belakang ketika mencapai Chang’an.
Kecuali Yang Qian, tak ada seorang pun lainnya yang meninggalkan nama mereka. Puluhan pemuda terkubur di dalam pasir, bahkan tulang pun tak tertinggal.
Mereka telah memenuhi sumpah mereka dengan nyawa.
Si saudagar mengaguminya dan mengirimkan Buku Sepuluh Ribu Kata itu kembali ke Chang’an.
Pada akhirnya, buku yang ditulis dengan darah itu diantarkan ke tangan sang Penguasa Dunia, dan harapan Yang Qian pun terpenuhi setelah dia mati.
Pada saat itu, Zheng Jing sudah menjadi perdana menteri, dan dia lalu memerintahkan agar Buku Sepuluh Ribu Kata dipublikasikan ke seluruh dunia, membuat seluruh dunia terkejut.
Dengan cepat nama Yang Qian menyebar ke seluruh jalanan dan gang di Kota Chang’an. Para menteri di mahkamah serta pemerintahan pusat mengekspresikan pendapat mereka, dan rakyat juga membicarakannya. Sentimen rakyat baik dari dalam maupun luar terbangkitkan dan mereka pun meminta Kaisar mengirim pasukan demi merebut kembali kampung halaman itu.
Sayangnya, semua sudah terlambat.
Rong Utara sudah jadi semakin kuat, sementara dinasti di Dataran Tengah penuh dengan kemelut, masalah dari dalam dan luar negeri terus terjadi, dan sungguh tak mungkin mengirim pasukan ekspedisi.
Para menteri bergerak penuh semangat, tampak seakan sedang mendiskusikan urusan mengirim pasukan, namun pada kenyataannya cuma memakai urusan Yang Qian untuk mengkritik dan menindas satu sama lain dan menimbulkan perpecahan.
Dengan perasaan enggan, Zheng Jing membujuk sang Kaisar muda agar mengangkat Yang Qian dan yang lainnya sebagai orang-orang berjiwa kesatria, lalu mengeluarkan titah penuh inspirasi. Perihal mengirim pasukan untuk merebut kembali kampung halaman utara di Hexi sama sekali tak berarti.
Setelah lewat beberapa tahun lagi, Rong Utara mengirim pasukan ke timur, Wei yang Agung hancur, negara luluh lantak dan keluarga pun hancur, mayat tergeletak di mana-mana.
****
Pada saat ini, Gaochang.
Yaoying tersenyum dan menatap Yang Qian yang heroik di hadapannya, merasakan hatinya sarat oleh emosi.
Dia berani pergi ke Gaochang, bukan hanya demi menjajal keberuntungannya.
Setiap kali gunung dan sungai (negara) terpecah-belah, maka takkan pernah kekurangan pahlawan-pahlawan seperti para leluhur Zhu, Xie Wuliang, dan Yang Qian. Mereka menganggap menyelamatkan nyawa rakyat sebagai tanggungjawab mereka, melemparkan kepala, menumpahkan darah, menganggap maut sebagai rumah, dan terus bergerak maju dengan gagah berani.
Ketika Yaoying pertama kali tiba di Gaochang, dia sudah menanyakan tentang sifat Yang Qian, namun jawabannya membuatnya tak tahu harus tertawa atau menangis. Yang Qian masih muda, suka menyabung ayam dan elang, pengangguran, seorang berandal terkenal.
Mau tak mau Yaoying jadi bertanya-tanya: Mungkinkah ini sekedar nama yang sama? Atau mungkin ada orang lain pada tulang-belulang yang terkubur terakhir bersama buku itu?
Keluarga-keluarga kaya yang dia minta Lao Qi undang dipilih setelah melakukan pertimbangan matang. Ketika dia berkata agar mengundang Yang Qian, Lao Qi menentang mati-matian: “Putri, Yang Qian itu masih muda, gegabah, impulsif, dan sepanjang hari tak melakukan apa-apa. Orang semacam itu, tak pantas mendapatkan persahabatan mendalam. Kabarnya, beberapa hari yang lalu dia cemburu karena seorang wanita lalu bertengkar dengan orang lain. Dia juga melawan tetua klan dan dimaki oleh sang tetua.”
Yaoying meragu cukup lama, lalu akhirnya memutuskan untuk menemui Yang Qian terlebih dahulu. Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah satu-satunya orang yang memiliki nama, marga, serta usia yang tepat, dan kebetulan juga merupakan keturunan dari sebuah keluarga kenamaan di Hexi.
Pokoknya, tulang-belulang itu pasti ada hubungannya dengan Yang Qian.
Setelah melihat orangnya, Yaoying memastikan kalau dia tidak salah orang.
Orang-orang paruh baya di keluarga-keluarga kaya semuanya memiliki aksen yang canggung, dan beberapa orang tetua berambut kelabu sudah melupakan aksen lokal mereka. Yang Qian, yang usianya paling muda, mampu bicara dengan logat Mandarin Hexi yang otentik. Diaah tulang-belulang yang terkubur di dalam pasir dengan postur masih menghadap ke timur.
Karena itulah tadi Yaoying tertawa.
Yang Qian mengungkapkan semua isi pikirannya begitu dia buka mulut. Dia bahkan dengan sengaja memprovokasi Yaoying, dan kini kembali mengikuti sang Putri, berusaha mencari tahu detil tentang Yaoying.
Seperti yang diketahui oleh semua orang, Yaoying bertekad akan bekerjasama dengannya.
Karena Yaoying selalu mengharapkan untuk kembali berhubungan dengan Dinasti Dataran Tengah sesegera mungkin.
Yang Qian mengkonfrontir Yaoying. Dia ingin menakuti Yaoying, namun yang bersangkutan hanya tersenyum dan bersikap tenang. Lagipula, Yang Qian masih muda dan tak bisa menahan diri. Dia mencibir dan berkata: “Putri Wenzhao sedang menghadapi bencana, dan kematian kian dekat. Namun Anda malah bersenang-senang di sini, marga Yang ini mengaguminya!”
Yaoying terkekeh, “Bagaimana jawaban Tuan Muda Yang?”
Dengan sikap arogan Yang Qian berkata: “Putri Wenzhao berpikir kalau orang-orang yang Anda temui hari ini bisa dipercaya? Saya bicara sejujurnya kepada Putri Wenzhao, mereka telah bersumpah kepada Anda, berkata bahwa mereka ingin pergi ke Chang’an, terus memandang ke timur, menangis habis-habisan. Seperti ibu saya yang sudah tua, Beliau juga bersumpah untuk tidak mengungkapkan identitas Anda. Namun pada kenyataannya, semua orang memiliki perut yang hitam. Mungkin saja seseorang sudah pergi ke istana untuk mengadukan Anda.”
Wajah Yaoying sedikit berubah dan bertanya,“Lalu Tuan Muda Yang pikir aku harus melakukannya?”
Yang Qian menaikkan dagunnya lebih tinggi lagi dan berkata: “Rumah leluhur saya adalah Hexi, dan leluhur saya semuanya adalah jenderal-jenderal terkenal di Hexi. Kakek saya dulunya adalah komandan di Ibu Kota Hexi. Sebelum Beliau wafat, Beliau mengatakan kepada saya agar jangan sampai melupakan kampung halaman saya. Sekarang karena Wei sudah menguasai Dataran Tengah, Keluarga Yang saya akan setia kepada Wei yang Agung. Anda adalah Tuan Putri dari Wei. Anda tinggal di Gaochang dan sendirian serta tak berdaya. Sebagai putra kedua Keluarga Yang, saya harus menjaga Putri.”
Dengan tenang dia membusungkan dadanya untuk membuat dirinya tampak lebih besar dan kuat.
“Jika Putri bisa memercayai saya, pergilah ke Kediaman Yang saya untuk menghindarinya. Saya bisa pastikan kepada Putri bahwa takkan ada orang yang berani mengganggu Putri ketika bersama saya!”
Setelah mendengar kata-kata ini, semua orang pun saling bersitatap dengan ekspresi berbeda-beda.
Tiba-tiba Yuanjue merasakan suatu perasaan ganjil di dalam hatinya, ada rasa marah, ada rasa gelisah. Sang Putri adalah Gadis Mordenga milik sang Raja, dan bukan jatah pemuda ini untuk menangani urusan sang Putri!
Ditatapnya Yaoying.
Yaoying masih tersenyum. Dia benar-benar tidak salah membaca orang. Di antara orang-orang yang dia temui hari ini, Yang Qian adalah orang yang paling tulus kepadanya.
Dia tersenyum lalu bertanya: “Tuan Muda Yang tidak takut kalau orang-orang itu pergi ke istana untuk melaporkanmu?”
Yang Qian menegakkan pinggangnya dan jemarinya menggenggam pedangnya erat-erat: “Saya tidak takut pada mereka! Keluarga saya dan Keluarga Yuchi memiliki hubungan pertemanan. Bahkan jika mereka menuntut saya kepada sang penguasa, saya masih bisa melindungi Putri.”
Yaoying mendongak menatap langit dan berkata, “Tuan Muda Yang benar. Ada orang-orang dalam Keluarga Zhao, Keluarga Yang, dan Keluarga Zhang yang hatinya ada di Dataran Tengah. Namun tentu saja juga ada orang-orang yang mencari perlindungan pada Rong Utara. Mungkin tidak semua dari mereka bisa dipercaya. Aku menemui mereka dan memberitahukan identitasku pada mereka, beberapa dari mereka pasti akan mengambil kesempatan ini untuk menyenangkan Putri Ina….”
Wajah Yang Jian menampakkan pemahaman.
Tiba-tiba arah perkataan Yaoying berubah, dan sudut bibirnya melengkung samar, “Tuan Muda Yang, menurutmu apa yang harus dilakukan untuk menangani pengkhianatan macam itu?”
Yang Qian tertegun.