You’re My Glory - Chapter 29
Chapter ini diterjemahkan oleh Kak Nadita (LatifunKanurilkomari)
Editor: Kak June| Proofreader: Kak Glenn
Pagi-pagi sekali, Yu Tu secara resmi kembali bekerja di lembaga penelitian. Dia pertama kali pergi ke kantor Profesor Zhang. Profesor Zhang dari awal sudah mengerti situasi yang membuat Yu Tu kembali. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa senang dan bahkan memberi reaksi dingin kepada Yu Tu.
Profesor itu duduk di belakang mejanya sambil membalik lembaran sebuah laporan penelitian. “Tidak peduli apa yang kukatakan, kamu tidak mau mendengar sama sekali. Tapi hanya satu kali telepon dari Lao (T/N: berarti Tua – imbuhan yang digunakan setelah nama seseorang untuk menunjukkan rasa sayang ataupun keakraban) Hu, kamu bahkan pergi ke Xi’an dan bahkan bersedia kembali ke sini. Yang gurumu itu aku atau dia?”
Pria tua itu tampak jengkel, tapi Yu Tu tahu bahwa beliau tidak benar-benar marah. Yu Tu merendahkan suaranya dan menjelaskan, “Ini tidak ada hubungannya dengan Hu Suo. Sewaktu di Xi’an… aku terus memikirkan hal ini.”
“Kamu benar-benar memikirkan hal ini?” Profesor Zhang menutup laporan yang sedang dia bolak-balik, memijit dahinya dan menyingkirkan prasangkanya di awal tadi, “Tetua Hu memintamu untuk segera bekerja setelah kamu kembali dari Xi’an tapi kamu tidak setuju. Bukankah itu berarti kamu masih ragu?”
Profesor itu mendesah dan menjawab, “Tolong jangan masukkan ke hati apa yang kukatakan terakhir kali. Setelah itu aku terus memikirkannya. Lingkungan yang kamu hadapi sekarang sangat berbeda dengan kami. Pada generasi kami ini rasanya semua sangat sulit, tapi bidang dan pekerjaan mana yang tidak pernah mengalami kesulitan? Semua orang ada dalam situasi yang sama jadi kami semua memiliki perasaan yang sama. Kami tidak merasakan ada perbedaan di antara kita semua tapi sebenarnya kita pun berbeda. Standar tingkat hidup orang yang muda lebih tinggi. Perbedaan antara bidang sangat besar jadi bagaimana mungkin perasaan kita tidak berbeda? Sangat manusiawi kalau kalian ingin berubah. Apa yang kukatakan terakhir kali itu sangat berbeda antara kenyataan dan perasaanku. Untuk itu aku ingin mohon maaf kepadamu.”
Yu Tu merasa tersentuh, “Profesor…,”
Profesor Zhang melambaikan tangannya untuk menginterupsi, “Karena itu aku akan memahami pilihan apapun yang kamu ambil. Tidak peduli apa yang kamu pilih, kamu masihlah muridku. Hanya saja, jika kamu kembali tapi masih merasa ragu dalam hatimu, kamu tidak akan mampu mengerjakan apapun dengan baik.”
Profesor itu bertanya lagi, “Kamu benar-benar sudah memikirkannya dengan baik?”
Yu Tu berkata seperti itu, tapi di hadapan gurunya yang bijaksana dengan tatapan menyelidik seperti ini, tiba-tiba benak Yu Tu memikirkan hal lain yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya….
Yu Tu menghindari menjawab secara langsung dan menjawab dengan suara yang rendah, “Aku akan sepenuh hati melakukan pilihanku.”
Profesor Zhang merasa senang dan mengangguk. “Baguslah. Tim dirgantara kita semakin lama semakin muda. Tahun lalu di Beijing ada seseorang yang berumur 35 tahun menjadi kepala teknik. Aku harap kamu bisa seperti ini.”
Setelah mengatakan hal ini Profesor Zhang memikirkan sesuatu dan berujar, “Kenapa Guan Zai tiba-tiba sakit? Apa sakitnya serius?”
Yu Tu terdiam sesaat dan menjawab, “Dia bilang tidak serius dan dia berulang kali mengatakan kepadaku untuk disampaikan kepada teman-teman agar tidak perlu menjenguknya.”
“Orang itu memang selalu seperti itu.” Profesor Zhang merasa tenang. “Berarti kamu harus menangani pekerjaannya. Kamu bisa pergi dan langsung bekerja.”
Yu Tu mengangguk dan baru saja akan pergi ketika pria tua itu menghentikannya lagi.
“Aktris yang dulu aku temui itu sebenarnya tidak salah dan apa yang dia katakan memang masuk akal…” Pria tua itu terbatuk kecil. Wajahnya tampak tidak nyaman tapi dia langsung memasang wajah seorang guru yang tegas seperti seorang ayah. “Kamu lebih baik mulai memikirkan pernikahan, hal yang cukup penting dalam kehidupanmu. Aku pikir dia cukup cantik. Kamu harus berusaha lebih keras…. OK, pergilah sekarang.”
Yu Tu tidak bergerak. Dia terdiam sejenak dan menatap gurunya itu. Yu Tu berujar, seakan dirinya bertanya kepada gurunya tapi juga bertanya kepada dirinya sendiri, “Profesor, apa aku sebanding dengannya?”
Pria tua itu terdiam dan kemudian langsung meledak marah, “Aku tidak mengerti ini. Sebagai kepala teknik di masa depan dan lulusan universitas yang ternama, bagaimana mungkin kamu tidak sebanding untuk gadis itu? Uang? Walaupun gajimu jutaan atau puluhan juta, penghasilanmu mungkin masih belum sebanyak dia. Kenapa kamu justru merasa tidak percaya diri?”
“Industri dirgantara kita adalah pekerjaan yang paling romantis. Kenapa bisa ada orang semacam kamu ini?” Pria tua itu sangat marah dan mengusir Yu Tu. “Pergilah, pergilah. Melihatmu saja membuatku marah.”
.
.
.
Pada hari pertama bekerja, Yu Tu tidak bekerja lembur dan meninggalkan lembaga jam enam lewat dan langsung menuju Rumah Sakit Huashan.
Ketika Yu Tu berjalan menuju kamar rumah sakit, Guan Zai sedang bertengkar dengan istrinya, Shen Jing. Ketika Guan Zai melihat Yu Tu, Guan Zai langsung merasa Yu Tu sebagai penyelamatnya. Dengan frustasi Guan Zai menuding Yu Tu dan berujar, “Kamu tanya sendiri apa dia sudah punya pacar? Kapan aku tidak berusaha untuk mengenalkan adik kelasmu itu kepada dia? … oops, seharusnya sudah saling kenalan.”
Istrinya menatap Yu Tu dengan galak, “Sudah berapa lama sejak kamu makan malam di rumah kami? Belum lewat dua bulan dan kamu sudah punya pacar?”
Yu Tu terdiam sesaat, dia langsung mengangguk dan mengikuti arus, “Iya, aku sudah punya pacar.”
“Mana fotonya? Biar kulihat.”
Tentu saja Yu Tu tidak punya apapun yang bisa dirinya tunjukkan ke istri Guan Zai. Istri Guan Zai berujar sengit, “Kalau tidak punya bilang tidak punya. Kalau tidak tertarik bilang tidak tertarik. Kenapa harus bohong?”
Guan Zai tidak bisa memberikan penjelasan yang meyakinkan dan dalam pertahanan dirinya Guan Zai menatap Yu Tu dengan tatapan yang tajam. “Kamu terlalu berlebihan, mengatakan gadis itu menyukaimu tapi kamu bahkan tidak punya fotonya?”
Tanpa menunggu penjelasan dari Yu Tu, Guan Zai langsung bergabung dengan istrinya, “Istriku, biar kujelaskan kepadamu bahwa Lao Yu mungkin terlihat jujur, tapi sebenarnya dia sangat busuk dan jahat di dalamnya. Aku juga sudah ditipu olehnya. Baru-baru ini ketika dia di sini baru aku mengetahuinya. Mengenalkan adik kelasmu kepadanya hanya akan melukai adik kelasmu.”
Yu Tu justru mulai bersemangat untuk bergabung dengan percakapan mengenai dirinya, “Bagaimana bisa di dalamnya aku sangat busuk dan jahat?”
Guan Zai merasa bangga kepada dirinya sendiri. “Kamu menonton video seorang aktris wanita di tengah malam. Terlebih lagi, aku memergokimu bukan hanya satu kali. Apa tingkah seperti ini masih bisa dibilang pria normal?”
Yu Tu mengernyitkan alisnya akan tetapi dia tidak membantah, “Aku menggunakan headphones… apa aku membangunkanmu?”
Guan Zai berujar, “Tidak. Aku tidur terlalu banyak di siang hari jadinya tidak bisa tidur di malam hari. Aku terbangun dan melihatmu sedang menonton. Siapa nama aktris itu? Dan dia juga sangat terkenal.”
Shen Jing menatap Yu Tu, tampak terkejut tapi juga tertarik, “Yu Tu, kamu masih menyukai aktris? Aku tidak menduganya. Aktris yang mana?”
Yu Tu menjawab dengan nada yang biasa, “Qiao JingJing.”
Guan Zai langsung menyambar, “Nah, benar, itu benar. Itu dia. Lihat, kan? Kamu sudah mengakuinya, kan? Aku bisa mengatakan itu tidak normal. Umurmu sudah tiga puluhan dan masih mengejar-ngejar selebriti. Jelas sekali kalau kamu itu orang mesum. Benar-benar tidak sejujur dan semenawan diriku.”
.
.
.
Guan Zai sama bersemangatnya saat dia mengatakan omong kosong, tapi sebenarnya dia masih sangat lemah. Tidak lama kemudian Guan Zai tidak lagi banyak bicara dan pada akhirnya dia tertidur. Pada akhirnya kamar rumah sakit yang tadinya ramai berangsur tenang kembali.
Shen Jing menatap dengan tenang wajah pucat Guan Zai kemudian berdiri dan berujar kepada Yu Tu, “Ayo keluar.”
Duduk di kursi di lorong rumah sakit, Shen Jing memberi penjelasan kepada Yu Tu, “Aku hanya bercanda dengan Guan Zai barusan. Jangan diambil hati. Aku tidak mau dia berpikir….”
Shen Jing tidak melanjutkan ucapannya.
Yu Tu bergumam, “Aku paham.”
Shen Jing memaksakan dirinya tersenyum, “Sebenarnya aku tidak mau mengenalkan adik kelasku kepadamu.”
Nada suara Shen Jing menjadi tenang, “Bagaimana kalau dia menyalahkanku nantinya? Kamu dan Guan Zai sangat mirip. Kamu sangat sibuk sepanjang hari sehingga kami bahkan tidak bisa melihat dirimu, dan kamu hanya tahu bekerja dan bekerja. Paling lama adalah satu tahun dimana enam bulan dia tidak ada di rumah dan sisanya selalu lembur setiap hari.”
Sebelumnya, Yu Tu sering mendengar Shen Jing mengeluh mengenai Guan Zai yang selalu sibuk dan tidak punya waktu untuk keluarga. Setiap saat Yu Tu berkunjung ke rumah Guan Zai untuk makan malam, Shen Jing selalu mengeluh mengenai itu. Tapi pada saat yang sama, Shen Jing juga tersenyum dan tidak benar-benar mengeluh. Semuanya tampak menyenangkan.
Tapi sekarang Shen Jing belum bisa dihibur. Shen Jing bergumam, “Dia tidak pernah menepati janjinya. Kami berjanji ketika di masa depan nanti dia sedikit lebih keren, dia akan membawaku ke tempat peluncuran sehingga aku bisa melihat sendiri hasil kerjanya yang terbang ke luar angkasa… dia selalu bohong kepadaku, selalu tidak menepati janji….”
Shen Jing mengatakan ini berulang kali dan akhirnya dia tidak bisa menahannya lagi. Shen Jing menutupi wajahnya dengan tangannya dan butiran tetes air mata yang besar berjatuhan.
Yu Tu tetap diam.
Situasi seperti ini memang terus terjadi selama beberapa hari. Shen Jing yang berusaha terlihat kuat di depan Guan Zai dan betapa lemah dan tak berdayanya Shen Jing ketika Guan Zai sedang tidak melihat, seakan Shen Jing akan pingsan di mana saja dan kapan saja. Biasanya Yu Tu akan mencoba menghibur Shen Jing, tapi sekarang Yu Tu mengerti bahwa kata-kata hiburan hanya berarti sedikit dan lemah bahkan tidak memiliki hasil apapun. Apa yang Shen Jing butuhkan bukanlah sebuah penghiburan akan tetapi untuk mencurahkan perasaannya.
Yu Tu mengangkat kepalanya dan bersender ke kursi, tenggelam dalam pikirannya dan menatap langit-langit rumah sakit. Tiba-tiba saja Yu Tu terpikirkan sosok seseorang yang beberapa hari ini dirinya berusaha lupakan dari lubuk hatinya.
Yu Tu mengingat cahaya yang perlahan meredup dari manik matanya, mengingat bagaimana dia menjawab, “Aku tidak akan lagi bertanya kenapa.”
Setelah itu, gadis itu memutar tubuhnya dan melangkah menjauh dengan sepatu berhak tingginya, selangkah demi selangkah. Dengan penuh tekad dan keangkuhan, gadis itu berjalan menjauh.
Pada saat itu, ketika Yu Tu menatap punggungnya, beberapa pemikiran yang gila mulai bermunculan di benaknya, seperti berlari untuk meraihnya, memeluknya, menguncinya dalam lengannya…
Tapi kemudian apa? Apa yang bisa dirinya berikan kepada gadis itu?
Hanya dengan memberi sebentuk rasa kepedulian yang sederhana, mungkin Yu Tu juga tidak sanggup memberikannya.
.
.
.
Butuh waktu beberapa lama ketika akhirnya Shen Jing bisa mengendalikan dirinya. Yu Tu mengulurkan tisu kepadanya dan Shen Jing menyeka air matanya. “Maaf, kamu selalu mendengar keluhanku setiap hari. Aku sebenarnya tidak menyalahkannya.”
“Apa yang kukagumi darinya adalah sikap loyal dan seriusnya. Tapi aku pikir kami masih punya banyak waktu, lalu ketika kami sudah tua nanti kami akan punya lebih banyak waktu lagi. Tapi sekarang sepertinya kami tidak punya banyak waktu.”
Hanya pada saat inilah Yu Tu mengucapkan satu kalimat, “Dokter mengatakan harapan sembuhnya sangat tinggi.”
Shen Jing menggelengkan kepalanya, “Kamu tidak paham.”
Shen Jing tidak melanjutkan lebih jauh. Dia menatap ponselnya, berdiri dan berkata, “Guan Zhu bilang dia sudah menjemput anak-anak dan mengantar mereka pulang, sebentar lagi dia akan datang kemari. Malam ini dia akan berjaga sepanjang malam. Kamu sudah kelelahan beberapa hari ini.”
Guan Zhu adalah adik Guan Zai dan seorang fotografer lepas. Sebelumnya dia berada di luar negeri, menjelajah ke berbagai tempat dan baru saja tiba kemarin.
Yu Tu juga bangkit dari duduknya, “Tidak masalah.”
.
.
.
Ketika Guan Zai terbangun, tidak ada suara apapun di kamar. Yu Tu berdiri bersender di dinding seberang tempat tidur, kepalanya tertunduk, memikirkan sesuatu.
Pasien di tempat tidur sebelah sudah keluar dari rumah sakit pagi ini. Guan Zai biasanya mengeluh bahwa orang yang di sebelahnya sangat berisik, tapi sekarang dia menyadari bahwa ruangan ini lebih baik sedikit ramai. Guan Zai terbatuk. Yu Tu mengangkat kepalanya dan berujar, “Kamu terbangun?”
“Ya. Kamu masih belum pulang? Dimana A Jing?”
“Istrimu pulang ke rumah untuk mengurus anak-anak. Guan Zhu masih belum datang sehingga aku menunggunya datang terlebih dahulu sebelum pergi.” Yu Tu menyesuaikan posisi tempat tidur agak lebih tinggi dan menuangkan segelas air hangat untuk Guan Zai.
Guan Zai minum perlahan, “Setelah aku tidur tadi, apa istriku menangis lagi?”
Yu Tu meraih gelas dari Guan Zai dan meletakkannya kembali ke meja, tidak menjawab.
Guan Zai mendesah, “Lingkar matanya selalu merah tapi dia selalu bertingkah kuat di depanku. Konyol sekali.”
“Lalu kamu tidak konyol? Kamu menahan sakitmu sampai sekarang.”
Ada jejak menyesal di wajah Guan Zai, “Tadinya sakitnya cuma sedikit. Aku tidak tahu ternyata seserius ini, kalau aku tahu aku sudah memeriksanya dari dulu.” Guan Zai menatap Yu Tu. “Bisakah kamu bersikap biasa saja? Sekarang ini kanker bukan lagi penyakit yang parah. Aku sudah mempelajarinya. Harapan sembuhku sangat tinggi untuk kanker jenis ini. Kekuatan tekadku bisa menyelesaikan semuanya.”
Yu Tu mengangguk, “Baiklah. Aku percaya padamu.”
“Kamu secara resmi kembali bekerja hari ini?”
“Benar.”
“Tidak mengundurkan diri lagi?”
“Tidak.”
“Karena aku?”
“Jangan terlalu percaya diri.”
Guan Zai tersenyum, “Di masa depan nanti, jangan terlalu sering ke rumah sakit. Kamu akan sangat sibuk sampai rasanya kamu mau mati. Ah, bukan, cuih! Maksudku, kamu akan sangat sibuk sampai kepalamu berdenging.”
“Ketika pembicaraan ini disebutkan, Guan Zai kembali menjelaskan mengenai pekerjaan dan kembali teringat, “Jangan ceritakan keadaanku ini kepada orang di lembaga. Cukup Hu Suo saja yang tahu mengenai hal ini. Aku saat ini tidak mau berurusan dengan Xiao Meng dan yang lainnya.”
“Aku tahu.”
“Aku tidak bisa bekerja setidaknya selama dua tahun. Aku serahkan semua pekerjaanku kepadamu.”
Yu Tu memberi suara “Hmm,” dan dengan datar berkata, “Tidak perlu khawatir.”
.
.
.
Ketika Yu Tu pulang ke rumah, waktu sudah hampir pukul sebelas malam. Yu Tu melangkah ke sofa dan duduk. Dia merasa lelah dari lubuk hatinya. Zhai Liang baru saja keluar dari kamar mandi dengan ponsel di tangannya. Ketika Zhai Liang melihat Yu Tu, dia mengerang dengan aneh dan langsung meloncat ke arah Yu Tu.
“Kamu akhirnya pulang? Kenapa kamu tidak membalas pesan WeChatku?” Zhai Liang buru-buru menekan sebuah video dari ponselnya dan menyerahkannya kepada Yu Tu. “Ini baru saja dikirimkan ke grup percakapan kelas. Semua orang sedang membicarakannya. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Mata Yu Tu berpindah ke layar ponsel. Dalam video itu ada dirinya dan Qiao JingJing yang sedang berdiri di panggung KPL dan sedang diwawancara oleh pembawa acara.
Zhai Liang berjongkok di tepi sofa dan memandangi Yu Tu, “Aku baru teringat, apa ini maksudmu yang ‘bisa dilihat di mana saja di jalanan‘?”
Yu Tu menyerahkan kembali ponsel itu. Ketika matanya kembali menatap layar ponsel, kebetulan video itu menunjukkan video close up wajah Qiao JingJing yang sedang melihat ke arah kamera dan tersenyum manis.
Yu Tu secara tidak sadar melengkungkan sudut bibirnya. Dia meletakkan ponsel itu ke meja kopi, berdiri dan berkata, “Tidak bisa bertemu dengannya lagi.”