You’re My Glory - Chapter 32
Chapter ini diterjemahkan oleh Kak Nadita (LatifunKanurilkomari)
Editor: Kak June| Proofreader: Kak Glenn
Setelah makan malam, Yu Tu menemani orang tuanya bejalan-jalan. Sepanjang jalan mereka selalu disapa oleh kenalan mereka, “Putramu sudah pulang?” Di kota kecil seperti ini di mana para tetangga saling mengenal satu sama lain, tidak ada jarak sama sekali di antara mereka.
Mereka berkeliling dua putaran di taman kecil terdekat. Tuan Yu dipanggil oleh teman mahjongnya. Dia melirik istri dan putranya dan baru saja akan menolak, tapi Nyonya Yu bekata, “Pergilah.”
Tuan Yu pergi dengan senang hati. Bersama dengan putranya untuk beberapa jam saja sudah cukup sehingga bermain mahjong jauh lebih menarik.
Nyonya Yu tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, mereka berdua baru berjalan sebentar saat Nyonya Yu tiba-tiba bertanya, “Apa kamu sedang memikirkan sesuatu?”
Yu Tu tidak terkejut saat ibunya menanyainya seperti ini, karena Yu Tu memang bukan seperti dirinya sejak siang ini dan ibunya memang selalu peka. Dia terdiam sesaat dan akhirnya berujar, “Sebelum kepulanganku yang lalu, aku sempat berkata aku akan keluar dari lembaga pekerjaanku.”
Tatapan terkejut muncul di mata Nyonya Yu. Setelah beberapa lama, Nyonya Yu mendesah dan berkata, “Aku selalu merasa bahwa kamu sangat mirip dengan pamanmu. Ketika kamu masih kecil, kamu sangat mengaguminya dan sering membanggakannya ke anak-anak lain bahwa pamanmu menerbangkan roket.”
“Diantara semua saudara di keluargaku, pamanmu yang paling pintar, tapi dia juga yang paling kesulitan. Sepanjang tahun dia berada di barat laut Tiongkok dan tidak pernah bisa bertemu dengan keluarganya. Pernah sekali kakekmu sakit dan hampir meninggal, tapi kami tidak bisa menghubunginya. Pada saat itu teknologi komunikasi belum secanggih sekarang. Dengan kesulitan, kakekmu akhirnya bisa selamat dan kami bisa menghubunginya. Kami memintanya untuk kembali tapi dia ragu cukup lama dan akhirnya menolak. Karena kakekmu sudah sembuh, pamanmu bilang dia akan melanjutkan pekerjaannya lalu baru pulang. Pekerjaannya pada saat itu sangat penting dan dia tidak boleh pergi.”
“Baru sebulan kemudian akhirnya dia pulang dan menemui kakekmu. Kami bersaudara sangat marah dan mendiamkannya. Pada saat itu bibi kami yang menjenguk kakekmu memarahi pamanmu dan mengatakan bahwa pamanmu itu tidak berbakti. Pamanmu dimarahi tapi dia juga tidak berani mengatakan apa pun. Pada saat itu kamu masih kecil tapi tiba-tiba kamu bertanya kepada bibi, “Nenek, bukankah Paman bekerja di Amerika?”
“Bibi kami itu sangat senang bercerita mengenai putranya itu sehingga pada saat itu dia langsung berkata kalau kamu rajin belajar kamu juga bisa belajar dan bekerja di luar negeri. Tapi kamu malah bilang, ‘Tapi Paman sudah pergi bekerja di Amerika selama beberapa tahun dan belum pulang. Kenapa Nenek tidak mengatakan kalau Paman tidak berbakti?'”
Setelah sampai sini, Nyonya Yu tidak bisa menahan senyumnya.
Yu Tu juga tersenyum karena dirinya masih mengingat kejadian itu. Dirinya juga masih ingat betapa canggung suasana pada saat itu setelah Yu Tu kecil menanyakan hal ini. Akan tetapi setelah itu, semua orang bersikap biasa lagi kepada Paman.
Terkadang, bukan karena orang terdekat kita tidak memahami diri kita, tapi lebih karena mereka dekat makanya akan lebih tegas dan penuh komentar.
Nyonya Yu berujar, “Pada saat itu aku berpikir, benar juga. Mereka berdua sangat mirip sehingga tidak bisa bersama orang tua mereka, tapi yang di luar negeri justru menerima rasa iri dan kagum sementara Pamanmu yang sepanjang tahun ada di barat laut, mengabdikan diri untuk pekerjaannya malah disebut tidak berbakti dan pekerjaannya tidak berguna…. Ini alasan yang konyol, kan? Kami sekumpulan orang dewasa tidak memahami masalahnya dengan jelas sejelas dirimu yang berumur 10 tahun.”
Yu Tu berujar dengan canda, “Sejak kecil aku memang anak yang pintar.”
Nyonya Yu mengelus Yu Tu.
“Mengenai prinsip kehidupan kami sangat memahaminya, tapi apa yang terjadi pada kami, justru kami merasa bingung. Hal yang paling kusesali adalah sudah memaksamu untuk masuk ke bagian perbankan saat ujian masuk universitas. Pada saat itu aku pikir putraku punya nilai tinggi, tentu saja dia harus masuk ke jurusan yang terkenal yang butuh nilai tinggi karena kalau tidak sayang sekali nilainya yang tinggi itu. Baru setelah itulah ketika aku tahu kamu diam-diam belajar dua jurusan aku merasa menyesal. Pasti kamu kelelahan sekali menjalani semua itu.”
“Di beberapa tahun belakangan ini, aku sudah tua dan aku bisa melihat lebih jelas. Apa yang mereka bilang di drama TV? ‘Bahagia itu adalah hal yang penting.’ Kalau kamu menyukai uang, pergilah dan raihlah uang itu. Kalau kamu justru berpikir uang itu tidak penting, pergilah dan lakukan apapun yang kamu sukai. Aku tahu kamu pasti merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan ini. Kamu mau berhenti, apa karena waktu itu aku sakit?”
Nyonya Yu tidak menunggu jawaban Yu Tu, “Dasar kamu, kamu terlalu berlebihan. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya kamu bertahan untuk pekerjaan ini, tapi yang ingin ibu katakan adalah, kamu tidak perlu berpikir bahwa kamu harus memberi kami ini dan itu. Sudah cukup bagi kami kalau kamu sehat-sehat saja. Kami belum tua. Kalau kamu masih berpikir apa yang kamu lakukan masih belum bagus, ingatlah putra rekan kerja ayahmu itu.”
Yu Tu terdiam sesaat, “…Apa maksudnya mengenai orang itu yang kehilangan ratusan ribu dolar?”
Nyonya Yu mengangguk, “Benar.”
Yu Tu: “Ibu….”
Ketika Nyonya Yu melihat ekspresi sedih Yu Tu, Nyonya Yu kembali tersenyum, “Maafkan aku, tapi itu hanya contoh. Tapi kamu paham apa maksudku kan? Kamu sudah melakukan yang terbaik. Orang lain merasa iri kepada ayahmu dan aku, jadi tidak perlu berpikir macam-macam dan lakukan yang terbaik.”
Rasanya belum lama saat seseorang mengatakan hal yang sama kepada Yu Tu.
Setelah beberapa lama akhirnya Yu Tu mengeluarkan suara “Hmm.”
Nyonya Yu dan Yu Tu bertukar sapa dengan para tetangga yang lewat. Setelah semua tetangga itu pergi, Nyonya Yu tiba-tiba berkata, “Kamu seharusnya memikirkan pernikahan, hal yang sangat penting dalam hidupmu. Aku selalu ditanya orang lain kenapa putraku masih belum menikah.”
Yu Tu merasa terkejut karena orang tuanya tidak biasanya memaksanya untuk melakukan sesuatu.
“Tidak perlu memasang standar terlalu tinggi. Kamu tidak perlu mencari wanita yang cantik. Sudah bagus kalau dia bisa mengurus orang.” Nyonya Yu mengeluarkan kriteria menantu pilihannya.
Yu Tu berjalan pelan. Nyonya Yu berpikir mungkin karena Yu Tu belum pernah memikirkan hal ini karena itulah dirinya tidak melanjutkan pembicaraan itu. Tapi siapa yang sangka? Yu Tu tiba-tiba memanggil ibunya yang sedang berjalan ke arah pintu rumah, “Ibu.”
Nyonya Yu menoleh ke arah putranya itu.
Yu Tu berujar, “Sepertinya aku lebih suka wanita yang cantik.”
Yu Tu rasanya ingin kabur. Dirinya tidak menyangka bahwa ibunya yang selalu terlihat tenang dan tidak terburu-buru mengenai pernikahannya, justru dengan satu kalimat itu akan merasa bersemangat dan bertanya macam-macam.
Tapi sekarang Yu Tu bisa bilang apa?
Setelah menginap semalam di rumah, Yu Tu langsung terbang ke Dunhuang dari bandara terdekat. Setelah bertemu dengan beberapa anggota tim peneliti, mereka langsung menuju lapangan penelitian di tengah gurun.
Di gurun yang jauh dari peradaban manusia, ritme kehidupan berjalan dengan lambat. Setiap hari Yu Tu berkonsentrasi kepada pekerjaannya tapi pada saat yang sama dirinya juga tidak bisa fokus.
Beberapa hari sebelum akhir misi pekerjaannya, Yu Tu menerima sebuah telepon panggilan dari Guan Zai yang berjarak ribuan mil.
“Apa semuanya baik-baik saja di sana?”
“Iya, kami selesai lebih cepat dari jadwal. Setelah beberapa bulan, kami akan melakukan penelitian yang kedua kalinya.”
Guan Zai berujar, “Oh, tidak heran Ketua Sun punya waktu luang untuk mengeluh kepadaku.”
Ketua Sun yang dimaksud adalah ketua pelaksana yang bertanggung jawab dalam penelitian kali ini. Yu Tu mengernyit, “Apa ada masalah?”
Guan Zai mendesah dan menjelaskan, “Kamu tidak tahu kalau Ketua Sun kita itu adalah orang yang serius dan aktif. Dia selalu ingin agar yang besar dan kecil ada dalam kendalinya, dan dia juga orang yang sangat perhatian dengan sesuatu yang penting dalam hidup, seperti pernikahan dari bawahannya yang masih muda. Aslinya, dia ingin memperkenalkan seorang gadis dari lembaga Tianjin kepada pria yang ada di lembaga penelitiannya. Sangat lumayan karena Tianjin dan Beijing sangat dekat, kan? Tapi kamu malah bersikap melankolis, terlihat pintar dan tertutup setiap hari, selalu memandangi bintang-bintang sendirian dan tidak pernah bergabung dengan kegiatan sosial setelah bekerja. Hasilnya, kamu sudah menangkap hati para gadis yang polos dan menghancurkan harapan para pria muda yang lain.”
Guan Zai selesai bercerita dalam satu napas dan mulai mengeluh, “Tetua Yu, kamu tidak pernah bersikap memasang gaya keren sebelumnya.”
Yu Tu: “…Sebelumnya aku menang lima hari berturut-turut, akhirnya mereka menyita kartu keanggotaanku.”
“Kamu bicara seperti ini terdengar sombong. Tahan dirimu. Kamu memang tampan, ditambah lagi gayamu keren. Kasih orang lain kesempatan untuk menang, oke?” Guan Zai berbicara serius, “Tujuanku meneleponmu adalah untuk memperingatkanmu….”
“Kamu harus terus bersikap keren, ha ha ha.” Guan Zai tertawa di telepon. “Jangan beri harapan kepada cowok-cowok lembaga itu. Kalau kamu pulang nanti, aku akan menjulukimu ‘Kebanggaan dan Kejayaaan Lembaga Kami’!”
Yu Tu: “…Istrimu ada di samping? Berikan teleponku kepadanya.”
Yu Tu langsung menunjukkan bahwa dirinya tidak mau lagi bicara dengan Guan Zai.
Shen Jing langsung menerima telepon.
Yu Tu langsung bertanya mengenai kondisi kesehatan Guan Zai. Shen Jing terdengar lebih santai dibanding sebelumnya, bahkan dia juga tidak mencoba menghindar agar Guan Zai tidak mendengar. Shen Jing menceritakan proses medis dan mengatakan hasilnya lebih baik dari yang diduga sebelumnya.
“Kamu terlalu banyak tanya tapi tidak tahu apa-apa!” Guan Zai merebut balik teleponnya. “Ketua Sun menelepon untuk menanyakan apa kamu punya pacar. Aku harus jawab apa?”
Guan Zai terkekeh, “Bagaimana kalau kubilang kamu suka teman SMA-mu, Qiao JingJing yang itu?”
Yu Tu terdiam sesaat tapi dirinya paham, Guan Zai kemungkinan menonton video yang disebarkan di grup WeChat lembaga kerja. Beberapa waktu yang lalu, video pertandingan pameran KPL yang dirinya ikuti akhirnya menyebar di lembaga penelitian dan menjadi perbincangan. Guan Zai cukup pintar, dia pasti sudah menghubungkan apa yang sudah Yu Tu katakan di Xi’an.
“Bukankah kamu pamer kalau gadis itu menyukaimu? Aku menonton videonya dan kurasa sang nona juga menyukaimu. Tapi kamu masih saja single, ada apa?”
Yu Tu memasang senyum getir dan duduk di pasir, memegang ponselnya, “Sebelumnya aku terus berpikir, apa yang bisa kuberi untuknya? Tidak ada uang mungkin memang benar, tapi aku juga mungkin tidak bisa selalu bersamanya.”
Gadis itu sangat lembut, suka bersikap seperti anak manja, perlu seseorang yang mengarahkannya dan hidup dengan tenang dan nyaman sepanjang waktu.
Yu Tu awalnya merasa sangat bahagia. Tapi pada suatu hari ketika kepalanya menunduk, dirinya menyadari bahwa telapak tangannya sangat kasar. Yu Tu tidak bisa menggunakan tangan ini untuk meraih permata seindah itu
.
Guan Zai terdiam untuk beberapa lama, Yu Tu juga tidak mengatakan apapun. Telepon mereka terhubung seperti ini. Setelah beberapa saat Guan Zai berkata, “Yu Tu, istriku bilang, yang seperti itu tidak termasuk.”
Kemudian Guan Zai membentak, “Apa kamu bodoh?”
Ini adalah pertama kalinya dalam hidupnya Yu Tu dimarahi seperti ini, tapi Yu Tu hanya tersenyum. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat langit berbintang, lebih murni dibandingkan tempat yang lain di atas kepalanya dan mengakui, “Kamu benar.”
Ketika Yu Tu kembali ke Shanghai, masih ada waktu sepuluh hari hingga Festival Musim Semi (Tahun Baru Imlek). Yu Tu langsung mengunjungi Guan Zai dan sekali lagi diolok-olok olehnya.
Setelah beberapa hari kerja, pada suatu hari di kantin, Da Meng tiba-tiba saja berkata, “Dalam perjalanan kali ini, kamu mengutip kata-kata siapa?”
Yu Tu terkejut, “Apa?”
“Kamu tidak sadar? Kamu selalu mengatakan, ‘Semuanya, ayo bekerja sedikit lagi, sedikit lebih keras.'” Da Meng mengeluh, “Itu kata-kata yang sama yang digunakan oleh kepala sekolah SMA-ku. Aku merasa merinding dari atas ke bawah jika mendengar hal ini.”
Setelah mengatakan hal itu Da Meng melanjutkan makannya, akan tetapi Yu Tu menggenggam sumpitnya dan menatap kosong. Ketika kepalanya menunduk untuk kembali mulai makan, sebuah senyum terpasang di wajahnya
.
Ada kebiasaan tambahan dalam rutinitas harian Yu Tu – – menulis surat.
Setiap larut malam setelah pulang, tidak peduli betapa larutnya, sebelum pergi tidur Yu Tu akan membuka alat tulisnya dan menulis sebuah surat.
Isi dari surat pertama mengenai hukum persamaan pertama kosmik (persamaan orbital). Pertanyaan ini sangat sederhana tapi juga memerlukan beberapa teori dan rumus yang biasanya tidak dipahami semua orang. Yu Tu mencoba sebisa mungkin untuk menjelaskan permasalahan rumit ini menjadi lebih sederhana.
Surat kedua adalah perbandingan perbedaan teknologi dirgantara Tiongkok dengan negara lain.
Di kertas surat seputih salju, di bawah lampu meja, Yu Tu menulis semuanya dengan teratur – –
“Pertanyaan ini terlalu luas, jadi aku harus menggunakan banyak surat untuk menjawabnya. Di surat ini aku akan menjelaskan sejarah pendirian dirgantara modern…”
Yu Tu selesai menulis surat sebelum tidur. Keesokan harinya, dia membawa dan memasukkannya ke kotak pos yang ada di luar kantor lembaga penelitian. Ketika Festival Musim Semi tiba, Yu Tu sudah mengirimkan sepuluh surat bersamaan.
Ketika Yu Tu memasukkan surat terakhir sebelum tahun baru ke kotak surat, Yu Tu berpikir, jika selama liburan Festival Musim semi belum ada….
Setelah pulang nanti, akan lebih baik bagi Yu Tu untuk mulai menulis mengenai kepindahan ke Mars
Gu Man (pengarang) menulis: Setelah beberapa tahun, Kepala Teknik Yu dan Nona Qiao yang cantik menjadi tua. Di waktu luangnya, Ketua Yu menghimpun dan menerbitkan sebuah buku berjudul “Surat Cinta Untuk Istrinya.”
Para penggemar bersemangat membelinya. Mereka membuka buku itu dan membacanya.
???
Ilmu Pengetahuan Populer Dirgantara? Sebuah Sejarah Singkat Dirgantara???
Emmm~~~