You’re My Glory - Chapter 37 (Part 2)
Chapter ini diterjemahkan oleh Kak Nadita (LatifunKanurilkomari)
Editor: Kak June| Proofreader: Kak Glenn
Tiba-tiba ada suara langkah yang keras di luar pintu tangga darurat dan suara orang yang berbicara, “Liftnya penuh sekali, lebih baik kita lewat tangga saja.”
Terdengar bunyi derit dan pintu tangga darurat terbuka. Yu Tu langsung memeluk Qiao JingJing dan menekan tubuh gadis itu ke dadanya.
Para remaja yang baru saja datang itu sepertinya tidak menyangka akan ada orang di sana, apalagi dengan… posisi seperti itu. Mereka berhenti mengobrol untuk sesaat, sambil menuruni tangga melemparkan padangan penasaran kepada mereka berdua.
Meskipun Yu Tu adalah orang yang selalu tenang dan mampu menjaga sikapnya, bahkan dirinya pun merasa malu mendapatkan tatapan penasaran dari orang lain. Yu Tu hanya mampu menurunkan tatapannya dan mulai memandangi rambut Qiao JingJing.
Untungnya, orang-orang itu berlalu dengan cepat.
Bunyi obrolan yang mulai melemah terdengar di ruang tangga darurat.
“Wah, mereka pacaran di ruang tangga darurat. Sepertinya ada cerita yang seru di balik semua ini.”
“Yang cowok sangat tampan.”
“Dia sudah punya pacar. Kalau kamu perhatikan pacar cowok itu sangat langsing. Pastinya dia juga cantik.”
“Ya ampun, aku harus diet setelah tahun baru Imlek.”
Suara mereka perlahan menghilang. Qiao JingJing menenggelamkan kepalanya ke dalam pelukan Yu Tu dan tertawa kencang.
“Sangat tampan, ah, Guru Yu.”
Yu Tu hanya bisa berujar pasrah, “Denganmu, bahkan di tangga darurat juga tidak aman.”
Qiao JingJing mendengus, “Lebih baik kamu membiasakan diri,”
“Aku sudah membiasakan diri,” Terlebih lagi Yu Tu sudah mempelajari kemampuan untuk tetap waspada dengan lingkungan sekelilingnya.
Yu Tu berujar, “Ayo pergi ke tempat lain.”
“Ke mana? Semuanya pasti penuh dengan orang.” Selama tahun baru Imlek, bioskop dan tempat sejenisnya pastinya akan ramai dengan orang. Dan ini juga bukan Shanghai di mana mereka tinggal pulang saja ke rumah Qiao JingJing.
Yu Tu terdiam sejenak dan akhirnya menjawab, “Ada satu tempat yang pastinya tidak ada orang.”
Qiao JingJing tidak menyangka Yu Tu akan membawa dirinya ke sini.
SMU 1 Kota Jing.
Yu Tu sedang mengurus izin dari penjaga keamanan. Qiao JingJing berdiri di depan papan nama sekolah dan menatap huruf-huruf besar yang tercetak di sana. Dirinya tidak bisa menolak perasaan yang timbul tenggelam di dalam hatinya. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Yu Tu melambaikan tangannya. Qiao JingJing berlari mendekat dan penjaga membuka gerbang agar mereka berdua bisa masuk.
Pada saat seperti ini memang tidak ada seorang pun di sekolah. Di sini sangat gelap dan sepi. Hanya ada beberapa lampu di halaman yang menyala, menciptakan siluet di beberapa area halaman.
Setelah berjalan beberapa lama, Qiao JingJing bertanya penasaran, “Sudah begitu malam tapi paman penjaga memperbolehkan kita masuk?”
“Aku bilang kalau aku dulu murid di sini dan mau membawa pacarku melihat-lihat sekolah ini.”
“…Cuma itu? Dan dia mengizinkan kita masuk?”
“Dia bilang dia masih ingat aku.”
“Oh, murid dewa maha hebat Yu pastinya meninggalkan kesan yang mendalam.”
Yu Tu melotot, “Sayang sekali pacarku tidak bisa menunjukkan wajahnya, kalau tidak pastinya lebih mudah mendapat izin masuk ke sini.”
“Tentu saja,” Qiao JingJing mengangkat dagunya dengan bangga.
Yu Tu hanya bisa tersenyum.
“Sebenarnya kemarin siang aku datang ke sini, tapi waktu itu paman penjaga tidak mengenaliku.”
Sudah pernah datang ke sini? Sewaktu dirinya sedang mendiamkan Yu Tu? Kenapa dia datang ke sini?
Tiba-tiba saja perasaan Qiao JingJing membaik dan langkah kakinya menjadi lebih cepat dan ringan. JingJing memutuskan untuk tidak meributkan betapa mudah dan enaknya Yu Tu menyebut dirinya sebagai ‘pacar’nya.
“Hei, kenapa lapangan olahraga yang di sini menghilang?”
Qiao JingJing menunjuk area di hadapannya. Dulu saat mereka masuk sekolah, lapangan olahraga ada di sebelah kanan, tapi sekarang sudah menjadi bangunan ruang belajar untuk berbagai pelajaran di daerah yang dulunya lapangan olahraga.
“Mungkin karena perluasan area sekolah?”
Qiao JingJing menatap bangunan baru yang berdiri di hadapannya dan merasa sedikit kehilangan. Terlalu banyak kenangan dari masa mudanya yang terjadi di lapangan olahraga ini, misalnya, kelelahan karena lari 800 m, atau misalnya, pertunjukan hebat dari lapangan sepak bola yang ditampilkan oleh orang di sebelahnya ini.
“Kamu masih main sepak bola?”
Yu Tu memberi jawaban merendah sesuai dengan penilaian dirinya sendiri, “Aku pemain andalan di lembaga.”
Qiao JingJing tidak bisa menahan tawanya. Kalau guru Yu sudah narsis seperti ini, bahkan tidak akan ada orang lain yang mampu mengalahkan guru Yu.
Qiao JingJing menatap bangunan baru yang ada di hadapannya dan berpikir, “Kalau lapangan olahraganya tidak ada, lalu di mana murid-murid berlari dan olahraga pagi?”
“Ada pusat olahraga yang dibangun di sisi sana. Mungkin mereka melakukannya di sana.”
“Sewaktu kita masih di sini, di sana hanya ada lapangan yang terlantar.”
“Oh iya,” Yu Tu mengingat sesuatu. “Apa kamu pernah membawa teman-temanmu memetik bunga liar lalu dimarahi oleh guru wali kelasmu?”
“…Apa kamu tidak bisa mengingat hal lain yang lebih bagus? ==”
Yu Tu tersenyum tipis. Dia ingat pada saat itu adalah tahun pertamanya di SMU. Guru kelas memanggil Yu Tu ke kantor guru untuk membicarakan sebuah kompetisi. Kebetulan saja dirinya bertemu dengan beberapa murid perempuan yang sedang dimarahi. Salah satu yang dimarahi paling keras adalah Qiao JingJing. Pada saat itu dirinya merasa canggung, tapi kalau dipikirkan lagi sekarang terasa menyentuh hati.
Siapa yang menyangka gadis yang dimarahi habis-habisan satu dekade lalu justru dialah yang paling meninggalkan kesan mendalam untuknya.
Dan tak disangka, pada satu hari ini, mereka akan kembali bersama-sama untuk mengenang masa lalu.
Mereka melangkah maju, melewati kantin, lapangan basket dan asrama murid lalu berkeliling mengikuti jalan sepanjang sungai.
Kota Jing ada di daerah Jiangnan, sebelah selatan dari Sungai YangTse sehingga dikelilingi air. Sekolah mereka dibangun di atas air. Di sepanjang sungai ada jalan yang panjang dan luas berpemandangan indah. Dulu saat masih bersekolah, setelah makan di kantin, banyak murid yang akan berjalan kembali ke kelas melalui jalan ini.
Setelah berjalan menyusuri tepi sungai selama beberapa lama, Qiao JingJing menghentikan langkahnya dan menunjuk ke sebuah pohon yang jauh ada di hadapan mereka.
“Kamu masih ingat tempat itu?” Qiao JingJing memasang ekspresi jahil.
Yu Tu menatap pohon itu. Di bawah pohon itulah, teman sekolahnya, Qiao JingJing pada suatu hari menghentikannya saat dirinya sedang berlari.
Yu Tu menatap Qiao JingJing, “Aku memikirkan sebuah pertanyaan di sepanjang perjalanan membawamu ke sini.”
“Apa?”
“Apa yang harus kulakukan kalau kamu mulai berbicara mengenai masa lalu?”
Qiao JingJing melotot dan kemudian tertawa, “Aku tidak akan mengatakan apapun hari ini, tapi… mungkin nanti.”
Yu Tu menundukkan kepalanya, “Kalau begitu aku akan menantikannya.”
Akan lebih baik kalau Qiao JingJing selalu membicarakan mengenai masa lalu untuk sepanjang hidup mereka berdua.
Yu Tu mengulurkan tangannya untuk Qiao JingJing.
Qiao JingJing menatap tangan itu, berpikir sebentar dan kemudian meletakkan tangannya di belakang punggungnya sendiri.
Yu Tu mengangkat alisnya dan menunggu dengan sabar.
Setelah beberapa lama barulah Qiao JingJing meletakkan tangannya dengan lembut di telapak tangan Yu Tu.
Yu Tu langsung menggenggamnya dengan erat.
Yu Tu menggenggam tangan Qiao JingJing dan berjalan ke bangunan sekolah yang lama. Setelah mengelilingi bangunan lama itu, mereka akhirnya duduk di tangga di luar bangunan.
Papan mading sekolah ada di belakang mereka.
“Dulu fotomu selalu dipajang di sini, berbagai macam pengumuman tentang dirimu yang mengikuti lomba ini dan itu, mendapatkan berbagai hadiah dan penghargaan dan semacamnya.” Qiao JingJing menatap Yu Tu. “Apa kamu masih ingat yang terakhir aku katakan di rumah Ling JieJie, aku merasa kamu akan menjadi ilmuwan dirgantara yang sangat hebat di masa depan, lalu sebagai teman sekelasmu aku juga akan terkena glory (kejayaan) mu.”
“Aku ingat.”
“Sebenarnya, waktu itu aku tidak berpikir begitu.”
“Hmm?”
“Bukan sebagai teman sekelasmu.” Qiao JingJing mengedip kepada Yu Tu.
Perasaan Yu Tu bagaikan bulu yang disambar petir, dengan sadar bertanya, “Lalu sebagai apa?”
Qiao JingJing tadinya berencana untuk mengacuhkan Yu Tu.
Tapi setelah dipikirkan lagi, akhirnya dia menjawab.
Qiao JingJing meletakkan tangannya di pipinya. “Waktu itu, aku punya impian yang aneh. Kamu jangan tertawa setelah mendengar ini. Contohnya, aku selalu membayangkan di perayaan tahunan sekolah ini bepuluh-puluh tahun kemudian, kamu adalah ilmuwan dirgantara yang sangat hebat dan kamu diundang oleh sekolah dan aku juga menemanimu di perayaan itu.”
Yu Tu tidak pernah tahu bahwa perasaan yang lembut di dalam hatinya bisa membuncah seperti ini.
“Karena itu Guru Yu, kamu harus bekerja dengan keras. Aku punya harapan tinggi terhadapmu.”
“Karena itu, tolong jangan menyerah, atau ragu, atau tidak berani menerimaku hanya karena masalah penghasilan atau hal semacam itu. Kamu punya tujuan yang jauh lebih penting. Apa kamu mengerti maksudku?”
Mana mungkin Yu Tu tidak mengerti maksudnya?
Tekadang Yu Tu juga merasa terkejut. Mereka sudah lama tidak berkomunikasi untuk waktu yang lama, tapi pemikiran mereka bisa sama hingga tahap seperti ini. Terkadang hanya dengan ekpresi mata atau beberapa kata sudah cukup untuk mereka saling memahami apa yang ingin dikatakan oleh pihak lain.
Karena itulah pada saat ini, saat dirinya duduk di tangga di bangunan sekolah SMU mereka, Yu Tu bisa memahami mengapa dirinya yang SMU, yang dipenuhi rasa angkuh dan berbeda dari yang lain, bisa melewatkan Qiao JingJing.
“JingJing, terkadang aku berpikir kamu selalu menatapku dengan rasa kagum yang buta.” Ujar Yu Tu. Ia menambahkan, “Sejak SMU, aku terbiasa angkuh karena merasa pintar. Setelah lulus dari sekolah inilah aku baru menyadari bahwa dunia ini begitu luas sementara aku begitu kecil. Aku tidak begitu berbakat, atau jenius seperti yang kupikirkan, dan IQ-ku tidak setinggi atasanku….”
“Tunggu sebentar.” Ujar Qiao JingJing, “Siapa atasanmu?”
Yu Tu yang dipotong ucapannya langsung mengucapkan, “… Qian Xuesen (ilmuwan Tiongkok dan insinyur ilmu penerbangan), Korolev (insinyur roket dan desainer pesawat ruang angkasa Rusia), Von Karman (matematikawan keturunan Hungaria-Amerika, Insinyur ruang angkasa dan fisikawan).”
Qiao JingJing yang baru saja dicekoki sejarah singkat dunia dan ilmu pengetahuan dirgantara hanya mampu menjawab, “Oh. Kamu boleh lanjut….”
Yu Tu sekarang tidak bisa melanjutkan. Dia hanya tersenyum, “Tapi aku akan berusaha keras.” Dia menambahkan, “Kurasa aku bisa.”
Mata Qiao JingJing berbinar saat menatap Yu Tu, “Ya.”
Mereka berdua duduk dengan tenang, merasakan angin dingin untuk beberapa saat.
Tiba-tiba Yu Tu berkata, “JingJing, aku yakin kamu akan menjadi BDS (BeiDou Navigation Satellite System).”
Qiao JingJing menatap bingung, “Apa itu BDS?”
Yu Tu menjawab, “Cari sendiri di Baidu.”
“Wow! Kamu masih berani bilang begitu kepadaku!”
(Catatan Editor Terjemahan Inggris: Menurut Wikipedia BDS adalah BeiDou Navigation Satellite System (北斗卫星导航系统; Běidǒu Wèixīng Dǎoháng Xìtǒng) yaitu sistem satelit milik Tiongkok yang berfungsi untuk pemetaan permukaan bumi, baik untuk kepentingan ilmiah maupun tracking posisi semacam GMaps dan bahkan bisa menentukan jam berdasarkan posisi si pemegang alat. Nama BeiDou (北斗) berawal dari astronom kuno Tiongkok yang berarti “Biduk Utara” berdasarkan tujuh bintang paling terang di rasi bintang Ursa Mayor yang biasa digunakan sebagai navigasi arah bintang utara karena posisi bintang ini di langit tidak pernah berubah. Sesuai asal namanya BDS berfungsi sebagai sistem petunjuk navigasi.
Yang Yu Tu maksud JingJing sebagai BDS mungkin Yu Tu berharap JingJing akan menjadi aktris yang paling bersinar seperti BeiDou atau Biduk Utara. Dengan ini kita bisa mengatakan Yu Tu memang cowok yang romantis XD)
Di malam musim dingn yang larut, di area sekolah yang sunyi ini, protes seorang wanita yang keras dan tajam terdengar jelas ditemani oleh tawa rendah seorang pria.
Paman penjaga berteriak dari kejauhan, “Gerbangnya mau ditutup.”
Mereka keluar dari sekolah bersama-sama.
Di luar gerbang sekolah terdapat jalan yang lurus dan lebar.
Qiao JingJing menyenandungkan sebuah lagu yang belum pernah Yu Tu dengar. Sambil menggenggam tangannya, Yu Tu tiba-tiba merasa semuanya sudah tepat di posisinya masing-masing.
Jalan yang ada di depan terlihat lebih jelas dan hidupnya terlihat menjadi jauh lebih sederhana.
Hanya saja…
Yu Tu bersama dengan Qiao JingJing.
Dan kemudian, Yu Tu akan menjadi glory (kejayaan) bagi Qiao JingJing.
Ini adalah chapter terakhir dari You’re My Glory. Tapi cerita ini belum berakhir. Nantikan kelanjutan cerita antara Yu Tu dan Qiao JingJing di 15 epilog cerita yang sudah ditulis oleh Gu Man.